Minggu, 09 Oktober 2016

MENGULANG KEMBALI SECARA SINGKAT SEJARAH SUKU REJANG

Saya akan mencoba mengurai sedikit sejarah suku rejang dari berbagai sumber yang diambil buat penambahan catatan singkat ku ini, walaupun susah mengambil naskah yang asli mengenai asal muasal suku rejang dari mana asal yang asli nya, karena melihat berbagai tulisan, masukan dan buku dari sejarahwan, cendikiawan, Tokoh masyarakat, sampai dari penulisan terkemuka luar negeri dan putra asli bangsa ini sendiripun, pernah mengeluarkan tulisan mereka lewat buku ataupun blog yang mereka kelola.

Akan tetapi bagi tulisan ku ini, bukan melihat ada berbagai perbedaan yang dikeluarkan dari tulisan orang-orang selama ini, dan itu pula bukan menjadi perdebatan untuk diriku sendiri, akan tetapi itu semua menjadi bahan kajian ku untuk mencoba sedikit mengabungkan dan menganalisa berbagai sumber yang sudah aku dapatkan selama ini.

Kebetulan saya secara pribadi berasal dari keturunan pribumi asli suku bangsa rejang, yang sekarang masih menetap di provinsi bengkulu, walaupun selama ini saya belum terlalu banyak memahami sejarah asal-usul suku rejang, tetapi saya sering bertanya sama tokoh masyarakat, membaca buku, membuka blog, keterangan-keterangan Tembo dan saya merasakan sendiri secara keturunan suku anak rejang, sehingga saya bisa melihat dari cara adat rejang selama ini dapat memahami secara garis turun temurun dari sil-sila keluarga besar kami.

Melihat Suku Bangsa Rejang, suku bangsa pribumi terbesar di Provinsi Bengkulu. Yang terletak di Pulau Sumatera, bagian timur Provinsi Bengkulu. Wilayah tersebut mencakup sebagian pegunungan Bukit Barisan dan tersebar diwilayah Sumatera Selatan. Suku Rejang menempati diberbagai daerah di Provinsi Bengkulu, yaitu :
1. Kabuptaen Lebong
2. Kabupaten Rejang Lebong
3. Kabupaten Kepahiang
4. Kabupaten Bengkulu Utara dan
5. Kabupaten Bengkulu Tengah 
                                                                                         
Banyak yang mengatakan bahwasannya Sejarah asal usul Rejang yang sebenarnya sudah sangat tidak memungkinkan diriwayatkan secara benar secara fakta sebenarnya. Hal ini disebabkan beberapa faktor yang mengakibatkan sejarah asal usul Rejang yang terhapus dan hilang ditelan ketidaktahuan generasi masa lalu.
Dari beberapa faktor, sulit sekali mendeteksi sejarah asal usul suku Rejang. Meskipun demikian, masih ada satu peninggalan yang masih diwariskan secara nyata dan masih ada hingga sekarang. Warisan tersebut adalah bahasa Rejang dan Tulisan (Ka Ga Nga) nya, sebuah bahasa yang unik yang belum punah hingga sekarang. Walaupun bukti-bukti arkeologi belum ada terbukti keberadaannya secara fakta, tapi bahasa dapat dijadikan pedoman menelusuri sejarah Rejang. Hal ini membuktikan bahwa orang yang paling berperan untuk meriwayatkan Rejang adalah suku Rejang dengan kemampuan bahasa Rejang tingkat mahir atau penutur asli bahasa Rejang yang mampu berkomunikasi dengan orang-orang Rejang dengan kemampuan meriwayatkan kisah lampau secara ilmiah.

Suku Rejang memiliki perbedaan dalam dialek penuturan bahasa. Dialek Rejang Kepahiang memiliki perbedaan dengan dialek Rejang di Kabupaten Rejang Lebong yang dikenal dengan dialek Rejang Curup, dialek Rejang Bengkulu Utara, dialek Rejang Bengkulu Tengah, dan dialek Rejang yang penduduknya di wilayah Kabupaten Lebong. Secara kenyataan yang ada, dialek dominan Rejang terdiri tiga macam. Dialek tersebut adalah sebagai berikut:
• Dialek Rejang Kepahiang (mencakup wilayah Kabupaten Kepahiang)
• Dialek Rejang Curup (mencakup wilayah Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Tengah, dan Kabupaten Bengkulu Utara)
• Dialek Rejang Lebong (mencakup wilayah Kabupaten Lebong dan wilayah Kabupaten Bengkulu Utara yang berdekatan dengan wilayah Kabupaten Lebong)

Dari tiga pengelompokan dialek Rejang tersebut, saat ini Rejang terbagi menjadi Rejang Kepahiang, Rejang Curup, dan Rejang Lebong. Namun, meskipun dialek dari ketiga bahasa Rejang tersebut relatif berbeda, tapi setiap penutur asli bahasa Rejang dapat memahami perbedaan kosakata pada saat komunikasi berlangsung. Karena perbedaan tersebut seperti perbedaan dialek pada bahasa Inggris Amerika, bahasa Inggris Britania, dan bahasa Inggris Australia. Secara filosofis, perbedaan dialek bahasa Rejang terjadi karena faktor geografis, faktor sosial, dan faktor psikologis dari suku Rejang itu sendiri.

Argumen dikuatkan bahwa Suku Rejang ini telah memiliki tulisan dan bahasa sendiri, bila kita lihat dari dialek bahasa yang digunakan, sangat jelas perbedaan antara bahasa Melayu dan bahasa daerah di Sumatra lainnya dengan bahasa Rejang sendiri.

Mari kita menyimak sedikit, ada berbagai sumber yang menguatkan sejarah suku rejang dan mengakui suku rejang tersebut, beberapa pendapat dan buku yang sudah dikeluarkan, yaitu :

1. John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779) menceritakan tentang adanya empat Petulai Rejang diantaranya Jekalang (Joorcalang), Selupuak (Selopoo), Manai (Beremani), Tubey (Tubay)di sisi lain Dr. J.W. Van Royen dalam Laporannya “adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” menyatakan bahwa Marga-Marga tersebut merupakan kesatuan Rejang yang paling murni.
2. Jhon Marsden yang merupakan seorang sarjana inggeris pada tahun 1779 M yang menulis buku dengan judul “The History Of Sumatera”.
3. Mohammad Hoesein yang merupakan putra Asli Rejang dari anak pangeran Kota Donok Lebong pada tahun 1960-1966 M yang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Selatan, dimana dituangkan dalam naskah yang berjudul “Tembo dan Adat Rejang Tiang IV”.
4. DR.Hazairin Putra Bengkulu pada tahun 1932 dalam rangka penyusunan Desertasinya yang berjudul “De Rejang” yang kemudian dibukukan oleh M.A Yaspan seorang sarjana Australia dari Australia National University yang mengadakan penelitian pada tahun 1961-1963, yang dituangkan dalam bukunya “From Patriliny To Matriliny, Structural Change Amongst The Rejang Of Southwest Sumatera” serta yang paling terahir Prof DR Richard Mc Ginn, yang merupakan Guru Besar Ohio University, USA.
5. Prof. DR. H. Abdullah Siddik dalam Hukum Adat Rejang.
6. Penelitian Prof.DR.Richard, Mc.Ginn Tahun 2006.

Walaupun dari mereka belum secara konkrit tentang asal mula dari mana datangnya nenek moyang Suku Rejang, dan bisa dilihat pada buku-buku yang sudah dikeluarkan tersebut hanya menyimpulkan bahwa orang Rejang berasal dari empat kelompok manusia yang ada di daerah Lebong yang mula-mula dipilih oleh para Ajai.

Ternyata sama dengan apa yang diceritkan oleh orang tua Rejang bahwa nenek moyang Orang Rejang pertama kali tinggal di sekitar danau besar di Gunung Hulu Tapus. Salah satu naskah tentang ini masih disimpan oleh Bapak Rattama, yang merupakan Imam Desa Suka Kayo Kabupaten Lebong.

Diperkirakan, setelah melewati masa yang lama mereka tinggal di dekat sebuah danau yang besar tersebut, anak keturunan mereka turun ke dataran rendah tapus di sebuah dusun Suko Negerai Desa Suka Negeri (sekarang) kemudian keturunan mereka menyebar dan akhirnya terdiri dari empat kelompok yang menetap di dusun, masing-masing dipimpin oleh Ajai. Empat kelompok inilah yang menjadi cikal bakal Rejang Tiang Empat lima Raja, yang sangat terkenal dalam nama Tembo Rajo.

Tidak jauh berbeda yang diceritkan nenek mamak atau orang-orang tua (Pak Salim dan Masyarakat Topos) yang menceritkan asal usul masyarakat rejang adalah, pertamanya ditemukan di Desa Siang, muara sungai ketahun. Pada masa itu pemimpin masyarakat rejang adalah disebut Ajai. Dimana sebelum Ajai Siang, lima tahap diatas Ajai Siang orang rejang sudah ada. Pada masa Ajai ini ada empat orang Ajai Siang, Ajai Bintang, Ajai Begelang Mato dan Ajai Malang. Karena mereka berempat tidak bisa memimpin dalam satu daerah, akhirnya mereka membagi wilayah kepemimpinan.
1. Ajai Bintang, memimpin di Sadei (desa) Pelabai Lebong yang terletak di Marga Suku IX Kecamatan Lebong Utara
2. Ajai Siang, memimpin di Sadei Siang Lakat yang terletak di Marga Jurukalang Kecamatan Lebong Selatan
3. Ajai Malang, memimpin di di Sadei Bandar Agung yang terletak di Marga Suku IX Kecamatan Lebong Utara
4. Ajai Begelang Mato, memimpin di Sadei Kutai Belek Tebo, yang terletak di Marga Suku VIII Kecamatan Lebong Selatan.

Dalam keempat kepemimpinan ini mereka ada sebuah falsafah hidup yang diterapkan yang itu (Pegong pakeui, adat cao beak nioa pinang) yang berartikan adat yang berpusat ibarat beneu (Rotan). Bertuntun ibarat jalai (jala ikan), menyebar ibarat jala, tuntunannya satu. Jika sudah berkembang biak asalnya rejang tetap satu. Kenapa ibarat beneu? beneu ini satu pohon, tapi didahan daunnya kait-mengait walaupun ada yang menyebar atau menjalar jauh. Walaupun pergi ketempat yang jauh tapi tahu akan jalinan/hubungan kekeluargaannya. Bisa kembali lagi darimana asal mereka berada.

Pegong pakeui juga mengajarkan bahwa kita sebagai manusia mempunyai hak yang sama. Jika kita sama-sama memiliki, maka kita membaginya sama rata. Jika kita menakar (membagi), misalnya membagi beras, kita menakarnya sama rata atau sama banyaknya. Jika kita melakukan timbangan, beratnya harus sama berat. Itulah (Pegong pakeui orang rejang. (Amen bagiea' samo kedaou, ameun betimbang samo beneug, amen betakea samo rato). Artinya: jika membagi sama banyak, jika menimbang sama berat, jika menakar sama rata). Itulah cara adat rejang.

Selanjutnya suku Rejang didatangi oleh empat orang bangsawan dari Kerajaan Sriwijaya yang mampu menanamkan pengaruhnya kepada suku Rejang. Keempat bangsawan ini kemudian kawin dengan puteri-puteri para Ajai dan selanjutnya diangkat menjadi pimpinan ke empat Petulai. Keempat bangsawan Sriwijaya tersebut diberi gelar Bikau dan masing-masing memimpin satu kesatuan kekeluargaan yang diberi nama sesuai dengan identitas kelompok masing-masing. Para Bikau dan kelompok masyarakatnya tersebut adalah :
1.  Bikau Sepanjang Jiwo, memimpin Marga Tubai yang terletak di Pelabai
2. Bikau Bermano, memimpin Marga Bermani yang terletak di Kutei Rukam dekat dusun Tes sekarang
3. Bikau Bejenggo, memimpin marga Selupuak yang terletak di Batu Lebar dekat Anggung Rejang di Kesambe
4. Bikau Bembo, memimpin marga Jurukalang yang terletak di Suko Negerai, sekarang desa Suka Negeri dekat Tapus (hulu Sungai Ketahun).

Keempat kelompok masyarakat di bawah pimpinan para Bikau kemudian disebut Rejang Empat Petulai (Jang Pat Petulai), yang terdiri dari :
1. Petulai Tubai (Tubey)
2. Petulai Jurukalang
3. Petulai Selupuak
4. Petulai Bermani

Pada masa itu di setiap Petulai terdapat Kutai (desa yang berdiri sendiri) sebagai suatu kelompok masyarakat hukum adat di bawah Petulai. Kepala Kutai di sebut Tuai Kutai dan dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh Kepala Sukau/Sadei.

Dari generasi ke generasi Petulai-Petulai tersebut tersebar ke wilayah-wilayah sepanjang aliran sungai Musi, yaitu :
1. Sungai Ketahun
2. Sungai Kelingi
3. Pesisir pantai dan tempat-tempat lainnya.

Dalam tembo tempat-tempat perpindahan ini disebut :
1. Sindang Empat Lawang
2. Sindang Beliti
3. Ulu Musi
4. Renah Pesisir
5. Renah Ketahun

Di sekitar awal abad 17 (XVII) M, diadakan permufakatan besar suku bangsa Rejang yang dipimpin oleh Petulai dan pecahan-pecahan Petulai dari keempat wilayah Lebong. Permufakatan besar ini bertujuan untuk membina persatuan dan kesatuan suku bangsa Rejang. Keputusan-keputusan penting dari permufakatan besar tersebut antara lain :
1. Seluruh daerah yang didiami oleh suku bangsa Rejang dibagi dalam empat Luak, yaitu Luak Lebong, Luak Ulu Musi, Luak Lembak Beliti dan Luak Pesisir.
2. Pecahan-pecahan Petulai Tubai di luar wilayah Lebong diakui keberadaannya dan disebut Migai (Merigi), sedang pecahan di dalam wilayah Lebong disebut Sukau Delapen (Suku VIII) dan Sukau Semilan (Suku IX).
3. Pemberian gelar Depati bagi para pemimpin Petulai, yaitu :
1. Depati Pasak Bumi bagi Sapau Lanang, pemimpin Petulai Bermani di Kutei Rukam.
2. Depati Rajo Besar bagi Rio Tado, pemimpin Petulai Jurukalang di Tapus
3. Depati Tiang Alam bagi Ajai Malang, pemimpin Petulai Selupuak di Atas Tebing
4. Depati Kemala Ratu bagi Ki Pati, pemimpin pecahan-pecahan petulai Sukau Delapeun di Karang Anyar.

Dalam bidang pertahanan dan keamanan diadakan pembagian tugas sebagai berikut :
1. Empat orang pemimpin Sindang Empat Lawang dan lima orang pemimpin Sindang Beliti menjaga ancaman musuh dari Timur (Penjaga Hutan)
2. Sebelas orang pemimpin dari Renah Pesisir dan tujuh orang pemimpin Renah Ketahun menjaga ancaman musuh yang datang dari laut.

Pemerintahan kolektif di seluruh suku bangsa Rejang di mulai saat ini dengan pimpinan keempat Depati tersebut bersama-sama. Oleh sebab itu, pemerintahan kolektif empat Depati ini disebut dengan istilah pemerintahan Depati Tiang Empat. Koordinator pemerintahan ini adalah Ki Pandan, pimpinan pecahan petulai Sukau Semilan yang berkedudukan di Bandar Agung dengan gelar Rajo Depati. Selanjutnya suku bangsa Rejang memiliki satu kesatuan pimpinan adat yang dipegang oleh Depati Tiang Empat. Segala perselisihan adat atau bila ada kekacauan dilaporkan kepada Depati Tiang Empat yang memutuskan kata akhir.

Demikian pula apabila ada keturunan pecahan petulai Tubai di luar Lebong mengalami kesulitan dan kekurangan akan hal adat. Pemerintahan kolektif Depati Tiang Empat ini terus berjalan secara turun-temurun hingga sampai pada awal penjajahan Belanda (1860/1860 Masehi). Namun setelah itu secara bertahap, pemerintah penjajah mulai menghilangkan eksistensi pemerintahan Depati Tiang Empat ini. Suku bangsa Rejang telah mengenal tulis baca karena mereka telah memiliki huruf tersendiri yang disebut oleh sebahagian ahli sebagai tulisan Rencong. Masyarakat Rejang sendiri menyebut tulisan mereka sebagai huruf (Ka Ga Nga). Huruf ini dahulu dapat digunakan oleh para pemimpin suku bangsa Rejang, Palembang, Serawai, Komering dan Lampung. Perbedaan huruf Rencong dari masing-masing suku bangsa tersebut memang ada, tapi tidaklah banyak.

Dengan persebaran dan berkembang biaknya dari empat kerajaan ini mereka mencari tempat-tempat di kepala air (hulu sungai) untuk dijadikan tempat tinggal. Seperti yang ada sekarang ini yaitu Rejang Awes, Rejang Lubuk Kumbung yang ada didaerah Muaro Upit, Rejang Lembak (Lembok Likitiun, Lembok Pasinan) dan termasuk juga Rejang Kepala Curup. Dipercaya Rio berasal dari Desa Topos yang pecahan kebawahnya adalah Tuanku Rio Setagai Panjang. Rio Setagai Panjang ini memiliki tujuh orang bersaudara dan berpencar untuk mencari tempat tinggal. Diantara dari tujuh Rio tersebut dan persebarannya di Bengkulu adalah sebagai berikut:

1. Rio Menaen
2. Rio Taen
3. Rio Tebuen
4. Rio Apai
5. Rio Mangok
6. Rio Penitis
7. Tuan Diwo Rio Setangai Panjang

Suku Rejang memiliki lima marga, yaitu :
1. Jurukalang
2. Manai
3. Suku VIII
4. Suku IX
5. Selupu

Lima marga inilah sekarang yang ada di tanah rejang yang ada di Bengkulu. Jika ada yang pindah ketempat lain mereka akan tetap berdasarkan lima marga tersebut. Walaupun mungkin banyak orang-orang rejang yang ada di Bengkulu sudah tidak tahu lagi mereka masuk kedalam marga apa. Dikatakan oleh orang tua dahulu (Pecua' bia piting kundei tanea' ubeuat, pecua bia' piting kundei tanea' guao', istilah rejangnya mbon stokot, 'mbar-mbar ujung aseup, royot kundeui ujung stilai). Artinya masih ada asal usul yang menyangkut tanah lebong, walau dia berpencar kemanapun. Dari kepercayaan yang ada, mereka percaya asal mula rejang itu satu. Tidak ada bibitnya (asal usulnya) dari orang lain. Semuanya berasal dari Ruang Lebong atau Daerah Lebong yaitu dari Ruang Sembilan Sematang. Walaupun sekarang orang rejang atau suku-suku rejang sudah menyebar dipelosok nusantara ini ataupun diluar negeri sekalipun.

Keberadaan peradilan adat di tanah Rejang sudah berlangsung untuk kurun waktu yang cukup lama, jauh sebelum agama Islam masuk ke Tanah Rejang dimulai ketika zaman Ajai dan Bikau, negeri yang terletak disepanjang Bukit Barisan ini penduduknya sudah lama melaksanakan tata tertib peradilannya menurut hukum adat. Pada masa penjajahan peradilan adat tetap bertahan sebagai suatu bentuk peradilan “orang asli” berhadapan dengan peradilan “gouvernement rechtsspraak” terutama di daerah-daerah yang dikuasai oleh Belanda, tetapi ada pengakuan dari Pemerintahan Belanda terhadap peradilan adat, pengakuan ini dilakukan secara berbeda dengan landasan hukumnya masing-masing. Setelah Indonesia merdeka peradilan adat ini menjadi tidak berdaya setelah disyahkannya UU Darurat No 1 Tahun 1950 yang menghapus beberapa peradilan yang tidak sesuai dengan Negara Kesatuan atau menghapus secara berangsur-angsur peradilan swapraja di beberapa daerah dan semua peradilan adatnya.

Meskipun Negara dan kelompok-kelompok dominan terus mempertanyakan keahliannya sebagai hukum, bahkan lebih dari itu juga berupaya untuk melenyapkan atau memaksakan mengenakan identitas hukum modern (hukum negara), tetapi peradilan adat mempunyai kemampuan untuk bertahan selain karena strategi asimilasi yang juga disebabkan oleh pembelaan yang panjang terhadap keberadaannya. Organisasi social-politik atau disebut juga kelembagaan adat komunitas local inipun mampu menyelengarakan organisasi pengaturan diri sendiri (self goverment), organisasi inipun bukan hanya kontruksi dari normal, aturan dan kelembagaan tetapi lebih dari itu pengaturan tersebut didasari oleh perangkat nilai dan pandangan hidup yang menjadi rujukan pada pembentukan norma dan tata aturan adat.

Secara sosiologispun aspek hukum dan peradilan adat dalam kehidupan masyarakat di pandang sebagai penjaga keseimbangan, keseimbangan yang dimaksud adalah kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat dan antar masyarakat dengan alam. Karena itu peradilan di pandang sebagai media penjaga keseimbangan dari pada sebuah institusi pemberi dan penjamin keadilan sebagaimana yang dipahami dalam hukum modern atau hukum positif. Dalam kerangka inilah masyarakat adat di Rejang Lebong memandang hukum adat sebagai salah satu dari tiga unsure penjaga keseimbangan disamping hukum negara (pemerintah) dan hukum agama. Kondisi ini juga yang mendorong masyarakat menengok kembali system peradilan adat atau system peyelesaian sengketa local disamping sector peradilan nasional menjadi sector kenegaraan yang paling resisten terhadap tuntutan perubahan ke arah yang lebih jujur, terbuka dan taat azas.
Otonomi sebagai salah satu cakrawala baru yang memungkinkan komunitas-komunitas adat membangun dan mengembangkan identitas eksistensial adalah cita-cita dan peluang, disatu pihak Undang-Undang Dasar memungkinkan pergantian konsep Pemerintahan Desa dengan konsep Pemerintahan Adat seperti pada Amandemen II UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2 yang menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya”. Dan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintaan Daerah juga menyebutkan bahwa Desa atau dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Suku Rejang, yang dikenal sebagai satu di antara suku asli penduduk Bengkulu, memiliki budaya yang beragam. Ragam budaya itu meliputi tulisan, adat istiadat, hukum adat, kesenian, dan sastra. Khusus untuk sastra lisan, suku ini juga memiliki berbagai macam jenis sastra, antara lain Nandei, Geritan, Berdai, Pantun, Syair, Sambei, dan Serambeak. Jenis sastra yang disebut terakhir inilah yang lebih populer digunakan sehari-hari, baik oleh orang tua, remaja, dan anak-anak dalam berinteraksi.

Dari cerita singkat sejarah suku rejang di atas, menunjukan bahwasannya kita sadar kebesaran Tuhan itu masih kuat untuk umatnya dalam memahami keadaan suku, budaya, agama, bahasa untuk kita lebih mengerti apa arti semua yang telah diturunkan dimuka bumi ini tidak lain, hanya untuk menikmati dan mensyukuri kebesarannya. Dan bukan masalah sejarah harus kita perdebatkan, melainkan kita mencari tau dari mana yang belum diketahui, kita mencari tahu informasi yang sebenarnya, jikalau ada cerita dan peninggalan yang kurang masuk di logika sehat kita, maka kita sama-sama menutupi hal kekurangan tersebut, bukan malah kita perdebatkan dan penuh dengan ego kita masing-masing, seharusnya kita menjaga dengan baik apa-apa yang sudah kita dapatkan, seperti bahasa budaya, adat istiadat, agama yang kita yakinkan. Semua kita hidup di dunia ini sama rata dimata Tuhan, yang membedakan adalah, amal kebaikan dan amal keburukan. Walaupun berbeda agama, bahasa, kulit, budaya, semua perbedaan itu akan lebih indah, jikalau kita saling menghargai dan saling menghormati apa-apa yang telah dimiliki orang terlebih dahulu sebelum kita hidup didunia ini, apa lagi kita sama-sama satu suku, budaya, agama, adat istiadat. Mari kita jaga bersama-sama semua yang kita miliki saat ini, siapapun itu tanpa terkecuali.

Saya mohon maaf jikalau ada kata-kata yang kurang pas dan ceritanya saya ambil dari berbagai sumber, setidaknya secara singkat saya sudah mengambarkan sedikit sejarah suku rejang itu sendiri.

Hargailah suku, budaya, adat istiadat, agama kita sendiri.

karena mengingat pesan (Ir.Sukarno) : Bangsa yang kuat, ketika bangsa yang mengingat sejarah bangsa dan menghargai satu sama lain.

Sebelum adat istiadat dan budaya kita di telan bumi, sehingga budaya luar tak terhenti lagi, tidak bisa di pungkiri budaya barat dan timur akan meleburkan budaya yang dimiliki para leluhur sebelum kita hadir di dunia ini.

Mungkin, akan lebih baik lagi mencoba menggali lebih luas lagi asal muasal sejarah suku rejang, seperti menggurai temuan-temuan peninggalan dan menelusuri sisa-sisa perkampungan tua suku rejang yang masih bisa di gali kembali, dan membentuk tim ahli arkelogi serta pakar-pakar sejarah untuk memastikan bukti nyata otentik suku rejang sebenarnya. Sehingga tidak ada lagi perdebatan mengenai masalah asal muasal suku rejang. Supaya nanti bisa diberikan pemahaman lebih lanjut terhadap anak cucu kita nantinya.

Sumber :
1. Buku John Marsden (The History Of Sumatera), Residen Inggris di Lais (1775-1779) menceritakan tentang adanya empat Petulai Rejang diantaranya Jekalang (Joorcalang), Selupuak (Selopoo), Manai (Beremani), Tubey (Tubay).
2. Buku Dr. J.W. Van Royen dalam Laporannya “adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” menyatakan bahwa Marga-Marga tersebut merupakan kesatuan Rejang yang paling murni.
3. Buku Mohammad Hoesein (Tembo dan Adat Rejang Tiang IV), yang merupakan putra Asli Rejang dari anak pangeran Kota Donok Lebong pada tahun 1960-1966 M yang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Selatan.
4. Buku Prof. DR. H. Abdullah Siddik dalam Hukum Adat Rejang.
5. Menurut Penelitian Prof.DR.Richard, Mc.Ginn Tahun 2006.
6. Media sosial Pesona Bumi Pat Petulai Rejang Lebong.
7. Tulisan Erwin,S Basrin dalam Blog AMARTA - Kondisi Hukum Adat Rejang
8.  Menurut Bapak Salim Tokoh Masyarakat Rejang Tapus.
9. Wikipedia Sejarah Rejang.
10. M.A Yaspan Peneliti Australia National University Tahun 1961-1963 dalam From Patriliny To Matriliny, Structural Change Amongst The Rejang Of Southwest Sumatera.
11. DR.Hazairin Putra Bengkulu pada tahun 1932 dalam rangka penyusunan Desertasinya yang berjudul “De Rejang”.
12. Tulisan ku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Walau badai yang menghampiri diri ini...
Tak akan menyerah yang nama nya perjuangan belum berakhir...